TEORI BEHAVIORISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
TEORI BEHAVIORISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
Oleh Indra Nurdianto
Abstrak
Artikel ilmiah ini disusun untuk menjelaskan teori belajar menurut aliran psikologi behavioristik dan implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. Di dalam hubungannya dengan siswa, pendidik memang perlu mengetahui teori belajar menurut aliran psikologi behavioristik serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (balikan) serta sangat cocok untuk diterapkan dalam proses belajar dan pembelajaran untuk mewujudkan pendidikan karakter.
Kata kunci: teori belajar, behavioristik, implikasi, pembelajaran
A. Rasional
Teori yang melandasi pendidikan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua. Pertama, teori asosiasi yang berorientasi induktif. Maksudnya, bangunan ilmu dalam pengembangan pendidikan didasarkan atas unit-unit pengetahuan, sikap, dan keterampilan menjadi unit yang lebih universal dan general. Aliran dalam teori ini yaitu aliran behaviorisme atau lebih dikenal dengan aliran stimulus-respons (S-R). Aliran ini beranggapan bahwa pendidikan diarahkan pada terciptakannya perilaku-perilaku baru pada siswa melalui stimulus-respons yang diberikan selama proses pembelajaran berlangsung.
Kedua, teori lapangan (field theory) yang justru berbeda dengan teori asosiasi. Teori ini lebih mengarah pada deduktif, maksudnya pengetahuan itu diperoleh dari sesuatu yang general dan holistik untuk menemukan kebenaran-kebenaran dari unit-unit yang ada dalam pembelajaran tersebut. Teori ini memiliki dua aliran, yaitu kognitivisme dan humanisme. Berdasarkan uraian tersebut, dalam makalah ini dibahas lebih mendalam tentang teori behavioristik dan implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran.
A. Kajian Teori
Hakikat Teori Belajar Behavioristik
Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Tokoh pelopor dari teori behavioristik adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie dan Skinner. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme yaitu koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pengkondisian kontiguitas (contigous conditioning), dan pembiasaan perilaku respons (operant conditioning).
Pertama, teori koneksionisme. Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike (1874-1949). Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat pada mulanya banyak didominasi oleh pengaruh Thorndike. Teori belajar Thorndike disebut “connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mulai mempelajari pembelajaran dengan serangkaian eksperimen yang dilakukannya terhadap hewan. Hewan-hewan yang berada pada situasi yang bermasalah mencoba untuk mencapai tujuannya (misalnya mendapatkan makanan, mencapai tempat yang dituju). Berdasarkan banyaknya respons yang dilakukan, mereka memilih satu, menjalankannya, dan menerima akibatnya. Semakin sering mereka membuat respons terhadap suatu stimulus, semakin kuat respons tersebut dan menjadi terkoneksi dengan stimulus tersebut (Schunk, 2012).
Koneksi-koneksi terbentuk secara mekanis melalui perulangan dan persepsi dari pikiran sadar tidak diperlukan. Thorndike menyadari bahwa pembelajaran manusia lebih kompleks karena manusia terlibat dalam tipe-tipe pembelajaran lainnya yang memerlukan pengkoneksian ide-ide, analisis, dan penalaran (Schunk, 2012). Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, ikatan, asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Supaya dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bentuk paling dasar dari belajar yaitu trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu (Roziqin, 2007).
Objek penelitian dihadapkan pada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai aktivitas untuk merespons situasi itu. Dalam hal ini, objek mencoba berbagai cara beraksi, sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya. Ciri-ciri belajar dengan “trial and error” yaitu (1) ada motif pendorong aktivitas, (2) ada berbagai respons terhadap situasi, (3) ada eliminasi respons-respons yang gagal atau salah, dan (4) ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Ide-ide dasar Thorndike mengenai pembelajaran diwujudkan dalam “Hukum Latihan dan Akibat.” Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu hukum kegunaan dan hukum ketidakgunaan. Hukum kegunaan (law of use) merupakan sebuah respons terhadap stimulus untuk memperkuat koneksi keduanya. Sedangkan, hukum ketidakgunaan (law of disuse) merupakan ketika respons tidak diberikan pada sebuah stimulus, sehingga kekuatan koneksinya menjadi menurun (dilupakan). Semakin panjang interval waktu sebelum sebuah respons diberikan, semakin besar penurunan kekuatan koneksinya.
Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum. Pertama, law of readness yaitu belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan. Ketiga, law of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik (Sukmadinata, 2007).
Kedua, teori pembiasaan klasik (classical conditioning). Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006).
Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu, muncul respons anjing berupa keluarnya air liur. Demikian juga jika dalam pemberian makanan tersebut disertai dengan bel, maka air liur juga keluar. Pada saat bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsangan tidak bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.
Perangsang tidak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut membuat anjing memberikan respons berupa keluarnya air liur. Selanjutnya, ketika perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tidak bersyarat, anjing tersebut tetap memberikan respons dalam bentuk keluarnya air liur. Oleh karena perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tidak bersyarat: makanan) ini ternyata dapat menimbulkan respons yang dapat berfungsi sebagai conditioned. Dengan demikian, teori Pavlov ini dikenal sebagai teori classical conditioning karena pengkondisian yang dilakukan pada anjing ini dapat juga berlaku pada manusia.
Pengkondisian klasik menurut Pavlov merupakan sebuah prosedur multi langkah yang pada mulanya membutuhkan sebuah stimulus yang tidak terkondisikan (UCS=Unconditioned Stimulus) yang menghasilkan sebuah respons yang tidak terkondisikan (UCR=Unconditioned Respons). Pada penelitiannya, Pavlov sering menggunakan metronom yang berdetak sebagai stimulus netral. Metronom menjadi sebuah stimulus yang terkondisikan (CS) yang menghasilkan respons yang terkondisikan (CR) serupa dengan UCR aslinya. Pemberian CS (dalam hal ini tanpa UCS) yang dilakukan berulang kali tanpa ada penguatan, membuat CR menurun intensitasnya dan kemudian hilang sebuah fenomena yang dikenal dengan kepunahan (Schunk, 2012).
Pemulihan spontan (SR) terjadi setelah selang waktu ketika CS tidak diberikan dan CR dianggap menghilang. Jika kemudian CS diberikan dan CR-nya kembali lagi, maka bisa dikatakan bahwa CR tersebut secara spontan dipulihkan dari kepunahan. Kenyataan pasangan CS-CR dapat diperbaiki tanpa banyak kesulitan, hal ini menunjukkan bahwa kepunahan bukan merupakan pembatalan pembelajaran atas asosiasi-asosiasi tersebut (Radish, dkk. dalam Schunk, 2012). Pavlov yakin bahwa stimulus apapun yang dirasakan dapat dikondisikan untuk respons apapun dapat dibuat. Namun, dalam penelitian berikutnya menunjukkan bahwa generalisasi untuk pengkondisian itu terbatas karena pengkondisian tergantung pada kesesuaian stimulus dan respons dengan reaksi-reaksi yang spesifik untuk tiap-tiap spesies (Hollis dalam Schunk, 2012).
Ketiga, teori pengkondisian kontiguitas (contigous conditioning). Tokoh lain yang mengemukakan sebuah perspektif behavioral untuk pembelajaran yaitu Edwin R. Guthrie. Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan pada asosiasi-asosiasi ketika perilaku-perilaku pokok dalam pembelajaran adalah tindakan dan gerakan. Prinsip dasar Guthrie menyajikan gagasan kontiguitas stimulasi dan respons. Kombinasi dari stimulus-stimulus yang telah mencapai suatu gerakan, jika berulang akan cenderung diikuti oleh gerakan tersebut. Dengan kata lain, pola-pola stimulus yang aktif pada saat sebuah respons terjadi akan cenderung menghasilkan respons tersebut jika dimunculkan berulang-ulang (Schunk, 2012).
Teori Guthrie menyebutkan bahwa pembelajaran terjadi melalui pemasangan stimulus dan respons serta kekuatan asosiatif. Meskipun Guthrie tidak menyatakan bahwa orang mempelajari perilaku kompleks dengan melakukannya sekali saja, tetapi satu atau lebih gerakan menjadi terasosiasikan. Perulangan dari sebuah situasi akan menambah gerakan, mengombinasikan gerakan-gerakan menjadi tindakan dan membentuk tindakan dalam kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Menurut Guthrie belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respons. Guthrie yakin bahwa respons-respons tidak perlu diberi imbalan untuk dapat dipelajari. Mekanisme pokoknya yaitu kontiguitas atau pemasangan yang tepat pada waktunya antara stimulus dan respons. Gutrie berpendapat bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk karena efektif tidaknya hukuman tergantung pada hukuman itu menyebabkan siswa belajar ataukah tidak.
Gutrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah, misalnya tingkah laku jelek dapat diubah menjadi baik atau sebaliknya. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian stimulus satu ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung diulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan asosiasi. Menurut Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus (dapat internal dan dapat eksternal) dan respons. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respons. Asosiasi tersebut dapat benar dan dapat juga salah.
Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini. Pertama, metode respons bertentangan. Misalnya, jika anak jijik terhadap sesuatu, sebutlah saja boneka, maka permainan anak yang disukai tersebut diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka, dan ternyata boneka tersebut sebenarnya tidak menjijikkan, lambat laun anak tersebut tidak jijik lagi pada boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut dapat dilakukan secara berulang-ulang. Kedua, metode membosankan. Misalnya, anak kecil suka menghisap rokok. Ia disuruh merokok terus sampai bosan, dan setelah bosan, ia akan berhenti merokok dengan sendirinya. Ketiga, metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan belajarnya dapat diubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan anak betah belajar.
Keempat, teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning). Teori behavioral lain yang terkenal yaitu teori pengkondisian operan yang dirumuskan oleh B. F. Skinner pada awal tahun 1930-an. Skinner mengemukakan ada 2 jenis pembelajaran, yaitu (1) perilaku responden dihasilkan oleh stimulus spesifik, dan (2) tidak ada stimulus tertentu yang bisa dipastikan secara konsisten akan menghasilkan respons operan (Hill, 2012).
Seperti halnya Thorndike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi yaitu menebak dan mengontrol tingkah laku. Skinner membagi dua jenis respons dalam proses belajar, yaitu respondens (respons yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov) dan operants (respons yang terjadi karena situasi random). Skinner membuat sebuah eksperimen dalam laboratorium dengan memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan (tombol, alat memberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik).
Disebabkan dari dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak ke sana dan ke mari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan pun keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar yaitu penguatan (reinforcement). Maksudnya, pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respons akan semakin kuat jikalau diberi penguatan.
Setidaknya ada enam konsep operant conditioning, yaitu (1) penguatan positif dan negatif, (2) shapping, ialah proses pembentukan tingkah laku yang semakin mendekati tingkah laku yang diharapkan, (3) pendekatan suksesif, ialah proses pembentukan tingkah laku yang menggunakan penguatan pada saat tepat sehingga respons pun sesuai dengan yang diisyaratkan, (4) extention, ialah proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari ditiadakannya penguatan, (5) chaining of respons, ialah respons dan stimulus yang berangkaian satu sama lain, dan (6) jadwal penguatan, ialah variasi pemberian penguatan: rasio tetap dan bervariasi, interval tetap, dan bervariasi.
Perbedaan penting antara Pavlov’s classical conditioning dan Skiner’s operant conditioning yaitu dalam classical conditioning, akibat-akibat suatu tingkah laku itu. Reinforcement tidak diperlakukan karena stimulusnya menimbulkan respons yang diinginkan. Operant conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung. Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respons-respons terhadap stimulus. Apabila siswa tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulus, maka guru tidak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Guru berperan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.
Menurut Skinner, dalam kegiatan pembelajaran guru perlu memberikan beberapa stimulus pada siswa. Adapun jenis-jenis stimulus tersebut, meliputi (a) positive reinforcement: penyajian stimulus yang meningkatkan probabilitas suatu respons, (b) negative reinforcement: pembatasan stimulus yang tidak menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respons, (c) hukuman: pemberian stimulus yang tidak menyenangkan, misalnya “contradiction or reprimand” (bentuk hukuman lain berupa penangguhan stimulus yang menyenangkan), (d) primary rinforcement: stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis, dan (e) modifikasi tingkah laku guru: perlakuan guru terhadap siswa berdasarkan minat dan kesenangan mereka.
Jadwal reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu respons diperbuat. Ada empat cara penjadwalan reinforcement, yaitu (a) fixed ratio schedule; yang didasarkan pada penyajian bahan pelajaran, yang mana pemberi reinforcement baru memberikan penguatan respons setelah terjadi jumlah tertentu dari respons, (b) variable ratio schedule; yang didasarkan pada penyajian bahan pelajaran dengan penguat setelah rata-rata respons, (c) fixed interval schedule; yang didasarkan atas satuan waktu, tetapi di antara reinforcement, dan (d) variable interval schedule; pemberian renforcement menurut respons betul yang pertama setelah terjadi kesalahan-kesalahan respons.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para guru. Namun, dari semua teori yang ada, teori Skinner-lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran, seperti teaching machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembela- jaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement) merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar karena proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun, sesuatu yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Skinner lebih percaya pada sesuatu yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman, yakni terletak pada hukuman yang harus diberikan (sebagai stimulus) agar respons yang muncul berbeda dengan respons yang sudah ada. Sedangkan, penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respons yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Akan tetapi, jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan justru ditambah) dan pengurangan ini mendorong pembelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut dengan penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif yaitu penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respons. Namun, bedanya yaitu penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif mengurangi agar memperkuat respons.
Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori behavioriStik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil dari interaksi stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contohnya, seorang anak mampu berhitung penjumlahan dan pengurangan, meskipun dia belajar dengan giat, tetapi dia masih belum bisa mempraktikkan penjumlahannya. Maka, ia belum bisa dikatakan belajar karena belum menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai hasil dari belajar.
Dalam teori behavioristik yang terpenting yaitu masukan atau input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Hal yang terjadi diantara stimulus dan respons dianggap tidaklah penting karena tidak dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab dengan pengukuran kita akan melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting bagi teori ini yaitu penguatan (reinforcement). Penguatan adalah sesuatu yang dapat memperkuat respons. Jika penguatan ditambahkan (positive reinforcement), maka respons akan semakin kuat; begitu juga penguatan dikurangi (negative reinforcement), maka respons akan tetap dikuatkan. Misalnya, jika siswa diberi tugas oleh guru dan ketika tugasnya ditambahkan, maka ia akan lebih giat belajarnya (positive reinforcement). Apabila tugas-tugasnya dikurangi, justru akan meningkatkan aktivitas belajarnya (negative reinforcement). Jadi, penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambah) atau dihilangkan (dikurang) untuk memungkinkan mendapat respons. Oleh karena itu, para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar tersebut, tetapi ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik
Ada delapan kelebihan dari teori belajar behavioristik. Pertama, membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar. Kedua, guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga siswa dibiasakan belajar mandiri. Jika siswa menemukan kesulitan, maka ditanyakan pada guru yang bersangkutan. Ketiga, mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan dengan mendapatkan pengakuan positif serta perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif yang didasari pada perilaku yang tampak. Keempat, melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu, maka akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
Kelima, bahan pelajaran yang telah disusun hirarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu dan mampu menghasilkan suatu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu. Keenam, dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimulus yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. Ketujuh, teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan. Kedelapan, teori behavioristik juga cocok diterapkan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, serta suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Ada sembilan kekurangan dari teori behavioristik. Pertama, sebuah konsekuensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap. Kedua, tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini. Ketiga, siswa berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan sesuatu yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Keempat, penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik karena justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa. Kelima, siswa dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh guru.
Keenam, siswa hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan dari guru dan mendengarkan sesuatu yang didengar serta dipandang sebagai cara belajar yang efektif, sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa sendiri. Ketujuh, cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menunjukkan siswa sebagai individu yang pasif. Kedelapan, pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kesembilan, penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan sesuatu yang harus dipelajari siswa.
Implikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran sampai saat ini yaitu aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini sampai sekarang masih dominan dalam praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, bahkan sampai perguruan tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Implikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Gagasan-gagasan yang telah dikemukakan oleh para pencetus aliran behavioristik seperti Thorndike tentang perlunya bantuan guru untuk menciptakan perilaku siswa, perlunya keterampilan-keterampilan yang dilatihkan, dan disiplin mental menjadi dasar bagi pengembangan aliran behavioristik di sekolah. Disamping itu, gagasan Guthrie tentang perlunya reinforcement dalam pembelajaran sampai saat ini diakui menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu, gagasan Skinner tentang perlunya pengaturan pembelajaran oleh guru, respons aktif dari siswa, adanya feedback setelah adanya respons dari pembelajar, dan kebebasan siswa dalam mempelajari materi sesuai dengan ritme pembelajar menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum di Indonesia.
Teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya, apabila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, maka hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran dan biasanya dilakukan setelah kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran sampai saat ini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responsnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang jikalau dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajar, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar. Fungsi mind atau pikiran yaitu untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, sesuatu yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh siswa.
Demikian halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari guru. Para guru mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar, siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati, sehingga hal-hal yang bersifat abstrak kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
B. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada penjelasan sebelumnya dapat dibuat dua kesimpulan. Pertama, teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Tokoh pelopor dari teori behavioristik adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Menurut teori behavioristik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil dari interaksi stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contohnya, seorang anak mampu berhitung penjumlahan dan pengurangan, meskipun dia belajar dengan giat, tetapi dia masih belum bisa mempraktikkan penjumlahannya, maka ia belum bisa dikatakan belajar karena belum bisa menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai hasil dari belajar.
Kedua, implikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Gagasan-gagasan seperti yang telah dikemukakan oleh para pencetus aliran behaviorisme, seperti Thorndike tentang perlunya bantuan guru untuk menciptakan perilaku siswa, perlunya keterampilan-keterampilan yang dilatihkan, dan disiplin mental menjadi dasar bagi pengembangan aliran behaviorisme di sekolah. Di samping itu, gagasan Guthrie tentang perlunya reinforcement dalam pembelajaran sampai saat ini diakui menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu, gagasan Skinner tentang perlunya pengaturan pembelajaran oleh guru, respons aktif dari siswa, adanya feed- back setelah adanya respons dari siswa, dan kebebasan siswa dalam mempelajari materi sesuai dengan ritme pembelajar menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Degeng, I.N.S. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud.
Gredler, M.B. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Seri Pustaka Teknologi Pendidikan Nomor 11. Jakarta: Rajawali Pers.
Hamid, M. 2002. Pendekatan Psikologis dalam Proses Belajar Bahasa. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.
Hill, W.F. 2012. Theories of Learning (Teori-teori Pembelajaran). Bandung: Nusa Media.
Koesma, R.E. 2000. “Konsep Manusia menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep Islam”, dalam Rendra, K. (ed). 2000. Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin, dkk. 2002. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Roziqin, Muhammad Zainur. 2007. Moral Pendidikan di Era Global: Pergeseran Pola Interaksi Guru-Siswa di Era Global. Malang: Averroes Press.
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Schunk, D.H. 2012. Learning Theories: an Educational Perspective (Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan). Edisi Keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukmadinata, N.S. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep, Landasan Teoritis Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Yulaelawati, Ella. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Pakar Raya. H.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar